Mengapa Kebanyakan Orang Sangat Suka Bakso?



Yang di atas itu judul sebagai tulisan pertama di awal tahun 2018. Terlihat sepele, tapi jangan salah, maknanya banyak.

Kebetulan inspirasinya datang dari seorang yang sangat dekat dengan saya dan lulusan dari Universitas rumpun ilmu kesehatan yang sengaja ‘curhat’ tentang konflik batin antara ilmu yang dipelajari dan fakta yang lidah suka.


Bukan itu saja. Mi bakso bahkan sempat dianggap ‘pangan nasional’ oleh seorang ilmuwan bule yang sedang survei pangan lokal di negri ini.


Sedemikian populer dan disukai, warung mi bakso bisa ditemui di ujung propinsi Nanggroe Aceh Darussalam hingga tanah Papua.

Jenis menu yang tak akan lekang oleh waktu apalagi digerus Resolusi Tahun Baru. Bahkan, di semua bandara kita rasanya minimal punya satu kedai berjualan bakso.

Bicara mi bakso dan satu lagi: es krim – selalu menjadi idola segala usia. Mana ada anak yang tidak suka bakso atau es krim?

Bahkan, penganut vegetarian masih memaksakan rupa bakso sekalipun isinya tepung berisi sayur cincang tanpa daging apa pun.

Di dunia, mungkin hanya negara-negara Balkan dan Eropa Utara yang hampir tidak mengenal bakso.

Diketahui sebagai cara mengolah daging agar lebih mudah disimpan, lebih bervariasi untuk dimasak, kualitas bakso tentu tidak mungkin sama.
Dan yang pasti, bagaimana bakso itu dimasak, mulai dari kuah gajih hingga air rebusan diberi bubuk ‘kaldu perasa’ tentu memberi catatan nutrisi.

Belum lagi teman makan bakso: mulai dari berbagai olahan tepung rafinasi sebut saja mi, bihun, soun, kwetiau – hingga nasi putih dan kucuran kecap, saus berwarna merah mirip tomat atau pemberi rasa pedas peningkat nafsu makan.

Jika mau jujur, penyusun Tabel Komposisi Bahan Pangan akan stres sendiri saat mengurai kandungan nutrisi semangkuk mi bakso.

Apalagi, masih ada semangkuk bakso yang dijual seharga 3000 rupiah saja di ‘abang-abang pikulan’ seputar gang atau pedagang yang berjualan eliling.

Semakin murah, semakin mi dan baksonya tidak bergizi, serta saus merahnya menyala, ditambah micin, malah semakin enak sedap, kata salah seorang pecinta bakso sejati.

Kembali pada pertanyaan awal: Kenapa saya suka banget sama bakso? – barangkali jawabannya bukan di bakso itu sendiri, melainkan pada si ‘saya’ yang bertanya.

Masalahnya, bisa jadi si pecinta bakso belum mengenal makanan lain yang mampu menyaingi bakso.

Sejujurnya, tidak ada istilah makanan itu enak atau tidak enak. Menjadi enak atau disukai justru karena dibiasakan, diajari pada awalnya.

Anak-anak yang sejak usia tumbuh kembang hanya terpapar dan terkondisikan dengan makanan yang itu-itu saja, dapat dipastikan preferensi atau rentang pilihan makanannya di usia dewasa tidak banyak.

Saya mencermati keluarga-keluarga milenial saat ini atau bahkan satu generasi sebelumnya – di mana peran ibu di rumah jauh lebih sedikit ketimbang kiprahnya di kantor atau sebagai pencari nafkah, entah sebagai orang tua tunggal atau pendamping suaminya.

Menghadapi tantangan ‘besok mau makan apa?’ bagi perempuan masa kini terasa lebih berat ketimbang ‘besok mau mengejar target apa?‘ di kantor.

Cobalah cek ke belakang, dalam seminggu – menu apa yang sama berulang untuk anak? Jika dalam seminggu selalu ada bakso di salah satu atau beberapa hari, maka jangan harap anak mempunyai pilihan lebih sehat ketimbang bakso dan sosis – olahan daging yang sudah mendapat lampu merah dari World Health Organization.

Ketimbang membuat resolusi gila-gilaan di tahun 2018, mengapa tidak mulai membiasakan diri membuat menu seminggu, bahkan sebulan – di mana ayam dan tempe tidak selalu menjadi gorengan, dan bakso serta sosis tidak lagi muncul sebagai menu praktis.

Dari data yang disusun oleh Asia Pacific Food Forward Trends Report II didapatkan angka-angka yang cukup mencengangkan: saat hanya 16% publik Australia merasa tertarik membeli makanan yang diiklankan para selebrita, justru 73% penduduk Tiongkok, 21% penduduk Singapura dan 21% penduduk Korsel memilih produk pangan dan restoran seperti apa kata artis. Sayangnya, data dari Indonesia tidak ada.

Kesadaran untuk memilih pangan sehat secara rasional -bukan akibat gosokan iklan, komit menjalankannya, mulai mengatur preferensi pangan keluarga, rasanya jauh lebih bermanfaat sebagai tujuan hidup sehat, ketimbang diet yang dipelajari secara otodidak di Facebook atau Youtube.

Begitu pula mengatur hidup lebih banyak gerak sehari-hari lebih masuk akal ketimbang ikut maraton musiman dengan risiko bukan hanya cedera, tapi juga serangan jantung akibat tidak tahu diri.

Move on dari menu bakso, bisa jadi juga berlaku di berbagai aspek lain kehidupan manusia. Mengapa masih terpaku pada pola lama dan orang-orang masa lalu? Karena kita belum mengizinkan yang baru dan yang lebih baik sebagai bagian dari pilihan.

Jangan sampai ketidakmampuan move on diam-diam kita juga biasakan pada si kecil, hanya karena variasi pangannya masih itu-itu juga.

Tahun yang baru, sangat mungkin mendapatkan hasil yang juga baru. Asal yang lama diikhlaskan saja, yang usang layak dibuang.

Asal diingat juga: hal yang baru tentu tidak mungkin mendadak seru – seperti belajar mengemudi pertama kali.

Ada saatnya mesin mati mendadak karena terlambat menginjak kopling, atau mobil mundur di tanjakan.

Tapi semua upaya membuahkan hasil, jika upaya senantiasa dijadikan komitmen dan hasil dirayakan.

Karena bisa mengemudi itu penting. Karena mempekerjakan supir itu lebih banyak pengorbanannya bagi sebagian orang. Dan menyetir mobil manual tentu mempunyai kelebihan sesuai dengan upaya babak belur ketimbang praktisnya mobil otomatis.

Seperti stiker keren yang pernah saya baca: Real man drives 3 pedals. Di dunia nutrisi stikernya barangkali berbunyi: Real food is forever good.


(Eki)

No comments:

Post a Comment